farmingblogger
Minggu, 10 Juni 2012
Kamis, 07 Juni 2012
Rabu, 25 April 2012
Aplikasi Kompos dan Pupuk Kimia secara Tepat Hasilkan Beras Sehat
oleh Komposter BioPhoskko pada 11 Agustus 2011 pukul 23:31 ·
Bagi
pertani padi sawah, penggunaan pupuk kimia jenis urea seolah adalah
wajib. Pupuk identik hanyalah urea, padahal menurut kaidah agronomis,
setiap tanaman, termasuk padi, bagi pertumbuhan dan produksi secara
optimal memerlukan masukan hara lengkap unsur makro (NPK), makro sekunder (Mg, S, Ca) dan unsur mikro (Fe, Zn, dll). Namun,
dengan cara berfikir (mindset ) kebanyakan petani Indonesia saat ini,
urea sebagai pupuk sumber hara Nitrogen, yang sesungguhnya lebih
berperan hanya pada fase pertumbuhan ( vegetatif), lebih sering
dijadikan sebagai pupuk andalan. Salah satunya, karena sifat sintetis
dari pupuki urea, reaksinya cepat dari sejak penaburan urea, tiga hari
tanaman padi menghijau.
Banyaknya
petani menggunakan Urea sudah over dosis, karena tanpa itu konon daun
padi tidak hijau dan telah terjadi penurunan hasil dari biasanya,
membuat subsidi negara, dari tahun ke tahun, memang makin besar.
Padahal, tanah sawah, yang memang sdh over eksploitasi, sebenarnya
kekurangan C Organik lah pangkal penyebabnya, dan bukan kurang nutrisi
pupuk. Bayangkan, jika setiap musim di panen 6 sd 8 ton/ ha gabah, namun
input (pupuk kimia) ke sawah hanyalah 500 kg, tanpa adanya masukan
lain dari bahan organik oleh pengembalian limbah sisa panen dan bahan
organik lain ( sisa makanan manusia, sisa dapur dan sampah organik)
kedalamnya, puluhan tahun sawah itu ditanami, akan dikuras habis
kesuburannya.
Hal
berbeda dengan keadaan diatas, bagi petani yang menyiapkan bertani
padinya dirancang sebagai usaha ( bisnis) dengan tujuan jangka panjang,
sebagaimana di luasan 10 ha an, sejak tahun 2005 di Ciparay Bandung.
Dengan terlebih dahulu menetapkan segmen pasar beras yang akan
dihasilkannya yakni konsumen beras sehat, dirancanglah usaha produksi
dan membuat beras BerSeka ( beras sehat bebas kimia). Guna
memenuhi tren permintaan konsumen tersebut, kemudian digunakan paket
teknologi untuk penciptaan kualitas beras bebas kimia, rasa enak dan
pulen, dengan memberikan kompos, pupuk organik cair dan pupuk tablet Gramalet Padi. Aplikasi kompos dan pupuk kimia secara tepat, pemupukan
terpadu dengan pupuk anorganik dikombinasi pupuk organik kompos, pada
padi sawah, telah menampakan hasil berbeda akan hal vigor tanaman lebih
kekar, malai dengan gabah lebih bernas, perolehan rendemen beras
meningkat hingga rataan 77 persen dari gabah kering giling (GKG) dan
rasa nasi jadi pulen dan enak.
Dengan
rancangan usaha seperti itu, Ibu Tuti di Ciparay dan banyak petani
lainnya di wilayah Bandung Selatan tidak lagi dipusingkan dengan
kenaikan harga maupun keberadaan urea (kimia sintetis) maupun sulitnya
memasarkan gabah, sebagaimana dialami para petani padi pada umumnya.
Kini, makin banyak konsumen beras sadar kesehatan, bahayanya residu
kimia berlebihan pada beras atau nasi yang dimakannya. Jadi maunya
beras, yang aman dari residu kimia dan pestisida. Dengan aplikasi pupuk
tablet ( kimia) namun dosis tepat, dibenamkan tanpa ada pupuk
terbuang, di kombinasikan dengan aplikasi kompos ini, me mudahkan dalam penjualan berasnya. Dan, harganya pun, lebih mahal pula dibanding beras umum di pasaran*)
Analisis usahatani padi sawah di lahan sawah semi intensif, areal Prima Tani Kabupaten Konawe Selatan (MT II) Tahun 2007
Biaya yang mengalami peningkatan perubahan adalah biaya bahan yang terdiri dari benih, pupuk, pestisida dan herbisida. Sebelum penerapan pendekatan PTT, biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.596.730,- sedangkan setelah penerapan pendekatan PTT naik menjadi Rp. 891.700,- atau terjadi kenaikan sebesar 0,49 %. Hal ini disebabkan oleh harga benih unggul lebih mahal, volume pupuk yang diaplikasikan setelah penerapan PTT lebih besar (sesuai dengan kebutuhan analisis tanah), dan penggunaan pestisida dan herbisida yang lebih besar pula, sehingga akan berdampak pada besarnya biaya yang dikeluarkan.
Penggunaan tenaga kerja pada kegiatan persiapan lahan, pemupukan, penyemprotan, penyiangan, panen, merontok, penjemuran dan biaya lainnya, setelah menerapkan pendekatan PTT mengalami kenaikan pula sebesar Rp.460.300.- Hal ini disebabkan oleh peningkatan produktivitas padi setelah menerapkan pendekatan PTT, sehingga memerlukan tambahan curahan tenaga kerja, terutama pada kegiatan panen dan merontok.
Meningkatnya produktivitas padi petani setelah menerapkan pendekatan PTT diikuti oleh peningkatan keuntungan finansial. Sebelum melakukan pendekatan PTT, produktivitasnya hanya 2,03 t/ha/MT, namun setelah menerapkan pendekatan PTT produktivitasnya meningkat menjadi 3,66 t/ha/MT, atau terjadi peningkatan hasil sebesar 80.30%. Keuntungan finansial petani sebelum menerapkan pendekatan PTT sebesar Rp. 431.800/ha/MT dan setelah setelah menerapkan pendekatan PTT meningkat menjadi Rp. 2.905.500/ha/MT dengan harga GKP Rp. 1.800,-.
Begitu pula jika dilihat dari kelayakan usahanya, terjadi peningkatan nilai R/C rasio dari sebesar 1,13 menjadi 1,79. Secara keseluruhan, dengan analisis MBCR diketahui bahwa perubahan teknologi yang diintroduksikan layak secara ekonomi. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai MBCR > 1 yaitu sebesar 6,37 yang berarti tambahan biaya untuk penerapan teknologi sebesar Rp. 1.000 akan diperoleh tambahan penerimaan sebesar Rp. 6.370.
Implementasi model PTT di tingkat petani yang dilaksanakan sesuai anjuran selain dapat meningkatkan hasil GKP juga dapat meningkatkan efisiensi input produksi seperti penggunaan benih dan pupuk masing-masing 35-40% dan 30-66%, sehingga dapat meningkatkan keuntugan sebesar Rp.2,7 juta/ha dibanding dengan petani yang tidak menerapkan PTT.
Komponen Biaya dan Pendapatan |
Sebelum Prima Tani (Tanpa Pendekatan PTT) (Rp) |
Setelah Prima Tani (Pendekatan PTT) (Rp) |
A. Biaya |
||
1. Saprodi |
||
- Benih |
179.000 |
196.200 |
- Urea |
137.500 |
189.500 |
- SP-36 |
99.830 |
182.400 |
- KCl |
91.200 |
116.500 |
- Pupuk Kandang |
- |
77.300 |
- Pestisida/herbisida |
89.200 |
129.800 |
2. Tenaga Kerja |
||
- Persiapan lahan |
190.000 |
197.700 |
- Pengolahan tanah |
600.000 |
600.000 |
- Cabut bibit |
150.000 |
150.000 |
- Penanaman |
450.000 |
450.000 |
- Pemupukan |
120.000 |
108.400 |
- Penyiangan |
150.000 |
160.100 |
- Penyemprotan |
90.000 |
85.800 |
- Panen dan merontok |
636.470 |
759.700 |
- Jemur |
80.000 |
99.800 |
- Lainnya |
159.000 |
179.300 |
Total Biaya |
3.222.200 |
3.682.500 |
B. Pendapatan |
||
|
2.030 |
3.660 |
|
1.800 |
1.800 |
|
3.654.000 |
6.588.000 |
C. Keuntungan (Rp) |
431.800 |
2.905.500 |
D. R/C Rasio |
1,13 |
1.79 |
E. MBCR |
6.37 |
Tabel di atas menunjukan bahwa hampir pada semua komponen biaya dan komponen penerimaan terjadi perbedaan antara sebelum dan setelah menerapkan pendekatan PTT. Biaya yang tidak mengalami perubahan adalah pengolahan tanah, tanam, dan cabut bibit. Hal tersebut disebabkan tidak adanya perubahan jasa sewa traktor sebelum dan setelah penerapan PTT.
Biaya yang mengalami peningkatan perubahan adalah biaya bahan yang terdiri dari benih, pupuk, pestisida dan herbisida. Sebelum penerapan pendekatan PTT, biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.596.730,- sedangkan setelah penerapan pendekatan PTT naik menjadi Rp. 891.700,- atau terjadi kenaikan sebesar 0,49 %. Hal ini disebabkan oleh harga benih unggul lebih mahal, volume pupuk yang diaplikasikan setelah penerapan PTT lebih besar (sesuai dengan kebutuhan analisis tanah), dan penggunaan pestisida dan herbisida yang lebih besar pula, sehingga akan berdampak pada besarnya biaya yang dikeluarkan.
Penggunaan tenaga kerja pada kegiatan persiapan lahan, pemupukan, penyemprotan, penyiangan, panen, merontok, penjemuran dan biaya lainnya, setelah menerapkan pendekatan PTT mengalami kenaikan pula sebesar Rp.460.300.- Hal ini disebabkan oleh peningkatan produktivitas padi setelah menerapkan pendekatan PTT, sehingga memerlukan tambahan curahan tenaga kerja, terutama pada kegiatan panen dan merontok.
Meningkatnya produktivitas padi petani setelah menerapkan pendekatan PTT diikuti oleh peningkatan keuntungan finansial. Sebelum melakukan pendekatan PTT, produktivitasnya hanya 2,03 t/ha/MT, namun setelah menerapkan pendekatan PTT produktivitasnya meningkat menjadi 3,66 t/ha/MT, atau terjadi peningkatan hasil sebesar 80.30%. Keuntungan finansial petani sebelum menerapkan pendekatan PTT sebesar Rp. 431.800/ha/MT dan setelah setelah menerapkan pendekatan PTT meningkat menjadi Rp. 2.905.500/ha/MT dengan harga GKP Rp. 1.800,-.
Begitu pula jika dilihat dari kelayakan usahanya, terjadi peningkatan nilai R/C rasio dari sebesar 1,13 menjadi 1,79. Secara keseluruhan, dengan analisis MBCR diketahui bahwa perubahan teknologi yang diintroduksikan layak secara ekonomi. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai MBCR > 1 yaitu sebesar 6,37 yang berarti tambahan biaya untuk penerapan teknologi sebesar Rp. 1.000 akan diperoleh tambahan penerimaan sebesar Rp. 6.370.
Implementasi model PTT di tingkat petani yang dilaksanakan sesuai anjuran selain dapat meningkatkan hasil GKP juga dapat meningkatkan efisiensi input produksi seperti penggunaan benih dan pupuk masing-masing 35-40% dan 30-66%, sehingga dapat meningkatkan keuntugan sebesar Rp.2,7 juta/ha dibanding dengan petani yang tidak menerapkan PTT.
Langganan:
Postingan (Atom)