Rabu, 25 April 2012

VIDEO PRFIL USAHA

Budidaya Jamur Merang.



Buat log Jamur Tiram (Pleurotus cystidiosus,  

Solusi Mudah Memulai Budidaya Jamur 


Sukses Membibitkan Belut di Lahan Sempit

lele super intensif sistem boster DAN LELE  BAYUWANGI


Berbekal Rp 500 Ribu, Meraup Rp25 Juta


VIDEO TEKNIK PENGENDALIAN TIKUS DENGAN SISTEM TBS








Alat pertanian modern

Aplikasi Kompos dan Pupuk Kimia secara Tepat Hasilkan Beras Sehat

oleh Komposter BioPhoskko pada 11 Agustus 2011 pukul 23:31 ·
Bagi pertani padi sawah, penggunaan pupuk kimia jenis urea seolah adalah wajib. Pupuk identik hanyalah urea, padahal menurut kaidah agronomis, setiap tanaman, termasuk padi,  bagi pertumbuhan dan produksi secara optimal memerlukan masukan hara lengkap unsur makro (NPK), makro sekunder (Mg, S, Ca) dan unsur mikro (Fe, Zn, dll). Namun, dengan cara berfikir (mindset ) kebanyakan petani Indonesia saat ini,  urea sebagai pupuk  sumber hara Nitrogen, yang sesungguhnya lebih berperan hanya pada fase pertumbuhan ( vegetatif), lebih sering dijadikan sebagai pupuk andalan. Salah satunya, karena sifat sintetis dari pupuki urea, reaksinya cepat dari sejak penaburan urea, tiga hari tanaman padi menghijau. 

Banyaknya petani menggunakan Urea sudah over dosis, karena tanpa itu konon daun padi tidak hijau dan telah terjadi penurunan hasil dari biasanya, membuat subsidi negara, dari tahun ke tahun, memang makin besar. Padahal, tanah sawah, yang memang sdh over eksploitasi, sebenarnya kekurangan C Organik lah pangkal penyebabnya, dan bukan kurang nutrisi pupuk. Bayangkan, jika setiap musim di panen 6 sd 8 ton/ ha gabah, namun input (pupuk kimia) ke sawah hanyalah 500 kg, tanpa adanya masukan lain dari bahan organik oleh pengembalian limbah sisa panen dan bahan organik lain ( sisa makanan manusia, sisa dapur dan sampah organik) kedalamnya, puluhan tahun sawah itu ditanami, akan dikuras habis kesuburannya.

Hal berbeda dengan keadaan diatas, bagi petani yang menyiapkan bertani padinya dirancang sebagai usaha ( bisnis) dengan tujuan jangka panjang, sebagaimana di luasan 10 ha an, sejak tahun 2005 di Ciparay Bandung. Dengan terlebih dahulu menetapkan segmen pasar beras yang akan dihasilkannya yakni konsumen beras sehat, dirancanglah usaha produksi dan membuat beras BerSeka ( beras sehat bebas kimia). Guna memenuhi tren permintaan konsumen tersebut, kemudian digunakan paket teknologi untuk penciptaan kualitas beras bebas kimia, rasa enak dan pulen, dengan memberikan kompos, pupuk organik cair dan pupuk tablet Gramalet Padi.  Aplikasi kompos dan pupuk kimia secara tepat, pemupukan terpadu dengan pupuk anorganik dikombinasi pupuk organik kompos, pada padi sawah, telah menampakan hasil berbeda akan hal vigor tanaman lebih kekar, malai dengan gabah lebih bernas, perolehan rendemen beras meningkat hingga rataan 77 persen dari gabah kering giling (GKG) dan rasa nasi jadi pulen dan enak.

Dengan rancangan usaha seperti itu, Ibu Tuti di Ciparay dan banyak petani lainnya di wilayah Bandung Selatan tidak lagi dipusingkan dengan kenaikan harga maupun keberadaan urea (kimia sintetis) maupun sulitnya memasarkan gabah, sebagaimana dialami para petani padi pada umumnya. Kini, makin banyak konsumen beras sadar kesehatan, bahayanya residu kimia berlebihan pada beras atau nasi yang dimakannya. Jadi maunya beras, yang aman dari residu kimia dan pestisida. Dengan aplikasi pupuk tablet ( kimia) namun  dosis tepat, dibenamkan tanpa ada pupuk terbuang, di kombinasikan dengan aplikasi kompos ini, me mudahkan dalam penjualan berasnya. Dan, harganya pun, lebih mahal pula dibanding beras umum di pasaran*)

Analisis usahatani padi sawah di lahan sawah semi intensif, areal Prima Tani Kabupaten Konawe Selatan (MT II) Tahun 2007

Komponen Biaya  dan Pendapatan
Sebelum Prima Tani (Tanpa Pendekatan  PTT) (Rp)
Setelah Prima Tani     (Pendekatan PTT) (Rp)
A. Biaya
 
1. Saprodi
 
 
    -  Benih 
179.000
196.200
    -  Urea 
137.500
189.500
    -  SP-36 
99.830
182.400
    -   KCl
91.200
116.500
    -  Pupuk Kandang
-
77.300
    -  Pestisida/herbisida
89.200
129.800
2. Tenaga Kerja
 
 
     - Persiapan lahan
190.000
197.700
    - Pengolahan tanah
600.000
600.000
    - Cabut bibit
150.000
150.000
    -  Penanaman
450.000
450.000
    -  Pemupukan 
120.000
108.400
    - Penyiangan
150.000
160.100
    - Penyemprotan
90.000
85.800
    - Panen dan merontok
636.470
759.700
    - Jemur
80.000
99.800
   -  Lainnya
159.000
179.300
Total Biaya
3.222.200
3.682.500
B. Pendapatan
 
 
  • Produksi (kg)
2.030
3.660
  • Harga GKG (Rp/Kg)
1.800
1.800
  • Pendapatan (Rp/ha/MT)
3.654.000
6.588.000
C. Keuntungan (Rp)
431.800
2.905.500
D. R/C Rasio
1,13
1.79
E. MBCR
 
6.37                              
 
Tabel di atas menunjukan bahwa hampir pada semua komponen biaya dan komponen penerimaan terjadi perbedaan antara sebelum dan setelah menerapkan pendekatan PTT. Biaya yang tidak mengalami perubahan adalah pengolahan tanah,  tanam, dan cabut bibit. Hal tersebut disebabkan tidak adanya perubahan jasa sewa traktor sebelum dan setelah penerapan PTT.
Biaya yang mengalami peningkatan perubahan adalah biaya bahan yang terdiri dari benih, pupuk, pestisida dan herbisida.  Sebelum penerapan pendekatan PTT, biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.596.730,- sedangkan setelah penerapan pendekatan PTT naik menjadi Rp. 891.700,- atau terjadi kenaikan sebesar 0,49 %. Hal ini disebabkan oleh harga benih unggul lebih mahal, volume pupuk yang diaplikasikan setelah penerapan PTT lebih besar (sesuai dengan kebutuhan analisis tanah), dan penggunaan pestisida dan herbisida yang lebih besar pula, sehingga akan berdampak pada besarnya biaya yang dikeluarkan.
Penggunaan tenaga kerja pada kegiatan persiapan lahan, pemupukan, penyemprotan, penyiangan, panen, merontok, penjemuran dan biaya lainnya, setelah menerapkan pendekatan PTT mengalami kenaikan pula sebesar Rp.460.300.- Hal ini disebabkan oleh peningkatan produktivitas padi setelah menerapkan pendekatan PTT, sehingga memerlukan tambahan curahan tenaga kerja, terutama pada kegiatan panen dan merontok.
Meningkatnya produktivitas padi petani setelah menerapkan pendekatan PTT diikuti oleh peningkatan keuntungan finansial. Sebelum melakukan pendekatan PTT, produktivitasnya hanya 2,03 t/ha/MT, namun setelah menerapkan pendekatan PTT produktivitasnya meningkat menjadi 3,66 t/ha/MT, atau terjadi peningkatan hasil sebesar 80.30%. Keuntungan finansial petani sebelum menerapkan pendekatan PTT sebesar Rp. 431.800/ha/MT dan setelah  setelah menerapkan pendekatan PTT meningkat menjadi  Rp. 2.905.500/ha/MT dengan harga GKP Rp. 1.800,-.
Begitu pula jika dilihat dari kelayakan usahanya, terjadi peningkatan nilai R/C rasio dari sebesar 1,13 menjadi 1,79. Secara keseluruhan, dengan analisis MBCR diketahui bahwa perubahan teknologi yang diintroduksikan layak secara ekonomi. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai MBCR > 1 yaitu sebesar 6,37 yang berarti tambahan biaya untuk penerapan teknologi sebesar Rp. 1.000 akan diperoleh tambahan penerimaan sebesar  Rp. 6.370.
Implementasi model  PTT di tingkat petani yang dilaksanakan sesuai anjuran selain dapat meningkatkan hasil GKP juga dapat meningkatkan efisiensi input produksi seperti penggunaan benih dan pupuk masing-masing 35-40% dan 30-66%, sehingga dapat meningkatkan keuntugan sebesar Rp.2,7 juta/ha dibanding dengan petani yang tidak menerapkan PTT.